12 years



12 YEARS

            Semilir angin kurasakan di antara pori-pori tubuhku. Dingin menghantam saraf-saraf di kulit hingga aku merinding. Pagi ini awan kelabu menutup langit. Beberapa orang berseragam putih abu-abu berlalu lalang di depanku yang saat ini duduk di depan kelas di lantai dua. Hawa dingin kembali menyergap, kurapatkan jaket merah kumal yang sedari tadi membalut tubuhku. Tak biasanya aku datang sepagi ini. Benar-benar sebuah rekor.
Aku melihat sekeliling, memperhatikan
satu persatu orang yang datang. Tidak, aku tidak sedang ingin menemui seseorang. Hanya saja, ini sudah menjadi kebiasaanku enam tahun terakhir. Tak lama aku mendengar derap langkah seseorang berlari menaiki tangga. Dia pasti lelaki kalau boleh aku menebak. Tak akan ada perempuan yang mau menaiki tangga dengan cara berlari seperti itu, tidak dengan rok abu-abu panjang hingga mata kaki. Kini lelaki itu berjongkok dengan nafas yang tersengal-sengal. Aku tersenyum. Dasar lelaki bodoh. Paling tidak berpikirlah dulu sebelum bertindak. Lelaki itu mengambil nafas panjang lalu menghembuskannya pelan sembari berdiri. Dialah yang kucari, lelaki tinggi, konyol, berhidung mancung. Aku mengenalnya selama duabelas tahun dan dalam duabelas tahun itu juga tak seharipun kulewatkan tanpa melihat wajahnya barang sekali.
Aku pertama kali mengenalnya saat kelas satu SD dan saat itu aku langsung membencinya. Di kelas dia selalu dapat peringkat satu dan aku peringkat dua. Aku paling benci kalah jadi aku membenci orang yang mengalahkanku. Aku bahkan tak mau diajak bicara olehnya, tidak mau belajar kelompok bersamanya. Sialnya kami selalu sekelas. Aku membencinya, benar-benar benci. Tapi entah mengapa aku selalu mencarinya tiap pagi. Pada kenaikan kelas tiga, aku pindah ke SD lain. Ibuku ingin aku bersekolah di dekat rumah saja karena sekolahku yang dulu lumayan jauh dari rumahku. Seharusnya aku senang, aku tak akan bertemu dengannya lagi. Tapi kenyataannya tidak begitu. Aku jadi selalu memikirkan apa yang dia lakukan atau apa dia masih peringkat satu. Tiap hari aku memandangi fotoku dengannya yang diambil ibuku saat pembagian rapot kelas dua. Mengutuknya supaya tidak lagi jadi peringkat satu dan bersumpah akan mengalahkannya saat SMP nanti.
SMP adalah titik balik semuanya. Aku langsung menemukannya saat hari pertama sekolah. Dia bukan lagi anak lelaki kucel yang selalu membawa botol minuman kemana-mana. Sekarang ia telah menjelma menjadi lelaki gagah yang senyumnya sungguh memesona. Tapi ternyata ia tak lagi meraih peringkat di kelasnya. Bodoh, seharusnya aku senang kan. Tak ada lagi kompetitor yang harus kukhawatirkan. Sepertinya ada sesuatu yang berubah di dalam hatiku, sesuatu yang janggal.
Saat itulah kebiasaan anehku mulai muncul, tiap hari aku selalu mencari keberadaannya. Saat upacara, istirahat siang, senam, bersih-bersih sekolah. Aku tidak bisa tenang sebelum menemukan wajahnya. Di SMP kami tidak pernah sekelas, takdir sungguh kejam. Dulu aku memohon-mohon agar tidak sekelas dengannya, sekarang aku mengutuk diriku sendiri karena permohonan itu. Walau begitu, mengawasinya dari jauhpun aku sudah bahagia.
Pernah sekali saat istirahat siang, saat aku sedang menyantap mi goreng Bu Jum. Dia mengajakku bicara. Pembicaraan yang benar-benar tidak perlu tetapi entah mengapa hatiku senang.
“Kamu sekolah disini juga?” tanyanya.  Aku tersedak, bukan karena terkejut ia menyapaku. Tetapi karena pertanyaannya yang benar-benar menusuk hati. Saat itu sudah hampir dua semester kami bersekolah dan dia baru tahu aku juga masuk sekolah ini. Sakitnya tuh disini. Karena terlampau sakit hati aku hanya mengangguk membenarkan.
“Kamu ingat aku?” Pertanyaan bodoh keluar dari mulutku.
“Ya iyalah, aku nggak mungkin lupa sama kamu. Nona peringkat dua.” Ia tertawa.
“Oh begitu, tapi kulihat kamu tak lagi meraih peringkat.” Ucapku bermaksud menyindir.
“Aku memberikan kesempatan untuk yang lain.” Ucapnya tenang, tak terpancing oleh sindiranku. Kami beradu pandang beberapa detik hingga salah seorang temannya memanggilnya. Ia tampak enggan meninggalkan pembicaraan kami tapi sepertinya urusannya lebih mendesak.
“Mungkin lain kali kita bicara lagi.” Ia mengakhiri pembicaraan dan pergi bersama teman-temannya. Aku menghembuskan nafas lega. Hanya bicara dengannya selama beberapa detik membuatku senam jantung. Jika saja percakapan itu berlanjut, mungkin aku sudah pingsan.
Sisa masa SMP kujalani seperti biasa. Tak ada lagi percakapan-percakapan berarti antara aku dan dia. Berpapasan di lorongpun dia hanya tersenyum tanpa berkata apa-apa. Aku masih selalu mencari keberadaannya, tapi entah kenapa sekarang perasaan untuk dapat menemukannya jauh lebih kuat dibanding sebelumnya. Tapi ia terasa semakin jauh dan masa SMP berakhir begitu saja.
Di SMA lagi-lagi aku dan dia satu sekolah. Dunia mungkin tak selebar yang orang-orang pikir. Dan kebiasaanku kembali, selalu mencari keberadaannya. Kalian pikir aku tidak mencoba menghentikan kegilaan ini? Aku sudah mencoba dan hasilnya nihil. Setiap kali aku mencoba berhenti, bayangannya selalu berkelebat dalam pikiranku. Tapi sepertinya keberuntungan mulai berpihak kepadaku. Saat kelas sebelas, aku sekelas dengannya. Kalian tidak bisa membayangkan betapa bahagiannya aku saat itu. Aku berpikir bahwa mungkin ini akan menjadi awal kisahku dengannya. Kami menjadi akrab di kelas itu. Tetapi ternyata semua jauh dari angan. Di kelas itulah aku mengetahui bahwa dia telah menyukai seseorang. Seorang perempuan putih dan cantik dari sekolah lain.
Duniaku seakan porak-poranda. Hatiku sakit dan aku tak tahu apa penyebabnya. Bulir air mata selalu jatuh ketika aku mengingatnya. Perih, itu yang kurasakan. Pernah suatu ketika, aku menghadiri pesta ulang tahun teman sekelasku. Aku bertemu dengannya. Perempuan itu. Cantik dan baik, itulah kesan pertamaku terhadapnya. Untuk yang pertama kalinya aku melihat wajah lelaki itu begitu bahagia dan itu bukan karenaku.
Kelas sebelas berlalu begitu saja dan kami naik ke kelas duabelas. Dan disinilah aku, duduk di depan sebuah ruangan kelas di lantai dua sedang memerhatikan lelaki itu sibuk mengaduk-aduk tasnya. Kami tak lagi sekelas. Sejak kejadian itu kuputuskan untuk menyerah dan hanya akan mengaguminya dari jauh. Tapi tetap saja rentetan air mata akan meluncur deras di pipiku bila aku mengingatnya. Air mata itu tak terbendung. Saat inipun aku hampir menangis jika saja salah satu temanku tidak menegurku lebih dulu. Aku menegarkan diri, mengambil nafas dalam dan masuk ke dalam kelas.
Seakan penderitaanku belum cukup, ternyata kami masuk ke bimbingan belajar yang sama. Waktu semakin dekat menuju ujian nasional dan jadwal pertemuan bimbingan belajar menjadi semakin intensif. Dan semua itu membuatku sering bertemu dengannya dan mengingat semua tentangnya termasuk patah hatiku. Tak jarang aku pulang sambil menangis. Apalagi beberapa minggu terakhir ia selalu duduk disebelahku. Entah setan apa yang tengah merasuki tubuhnya saat ini atau mungkin ini khayalanku saja. Aku bahkan sengaja duduk dibelakang. Tetapi dia benar-benar selalu duduk disampingku. Aku berpikir mungkin ini semua kebetulan karena tak banyak bangku kosong yang tersedia hingga suatu hari dia tetap memilih duduk disebelahku walaupun separuh bangku diruangan bimbingan itu kosong. Tak bisakah lelaki itu membiarkanku tenang barang sehari.
Suatu hari aku iseng menanyainya tentang perguruan tinggi yang ingin ditujunya setelah tamat SMA. Ia terlihat mengingat-ngingat sebentar.
“Universitas Lambung Mangkurat dan Universitas Brawijaya.” Jawabnya kemudian. Aku terkesiap. Aku juga memilih dua universitas itu. Kebetulan laknat macam apa ini.
“Sama ya?” Tebaknya melihatku yang tampak terkejut. Aku mengangguk pelan.
“Wah kalau gitu kita satu sekolah lagi dong!” Serunya sambil tertawa. Dalam hati aku merutuk, kenapa Tuhan setega ini membuatku mungkin harus merasakan sakit hati lagi. Kini hanya takdir yang akan memastikan apakah aku akan bertemu lagi dengannya atau tidak. Semoga saja tidak.
Ujian Nasional berlalu dalam sekejap. Tiba saatnya perpisahan, perpisahan pada sekolah, guru, teman-teman dan pada lelaki itu. Kali ini aku benar-benar menyerah. Malam sebelum perpisahan, aku menulis sebuah surat untuknya. Kuputuskan untuk memberitahu semuanya, semua yang kurasakan padanya selama duabelas tahun. Bahwa aku menyukainya selama lebih dari setengah umurku. Kulipat kertas itu dengan rapi dan memasukkannya ke sebuah amplop berwarna biru. Dengan hati-hati aku menulis nama lelaki itu diatas amplop.
Acara perpisahan itu berjalan dengan meriah sekaligus penuh haru. Guru dan siswa saling berpelukan sambil meneteskan air mata. Salah satu temanku menjadi pembawa acara perpisahan yang mengharu biru itu. Tanpa sadar, aku kembali mencari sosoknya. Kebiasaan itu tak pernah hilang.
Aku menemukannya sedang berbicara pada teman-temannya saat acara perpisahan telah berakhir. Kumantapkan niatku sambil melihat sepucuk surat yang berada di dalam tas selempangku. “Sudah saatnya berpisah” gumamku sambil memandang sosoknya nanar. Aku memanggilnya yang lalu seketika menengok dan berjalan menghampiriku dengan wajah tersenyum.
“Hai!” Sapanya padaku.
“Hai juga!”
“Ada apa? Mau pamit sama aku?”
“Nggak…” Ucapku sambil tertawa singkat.
“Terus mau apa?”
“Boleh nggak aku pegang wajah kamu?” Permintaan konyol.
“Hah? buat apa?”
“Udah, nggak usah banyak tanya. Boleh nggak?”
“Ya udah deh, boleh.” Jawabnya akhirnya sambil memandangku dengan tatapan ragu. Aku mengangkat tanganku kearah wajahnya sambil menutup mata. Kurasakan setiap inci wajahnya, mata, hidung, pipi. Wajah inilah yang ingin kulihat setiap hari. Wajah inilah yang ingin kuingat. I have missed you already. Sekarang saja aku sudah mulai merindukannya. Tanpa sadar bulir air mata jatuh dari sudut mataku, aku terisak.
“Kamu kenapa?” Tanyanya dengan nada suara panik. Aku menggeleng cepat sambil menghapus air mata. Padahal aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menangis.
“Aku nggak apa-apa, kok.”
“Kamu benar-benar aneh hari ini.”
“Sudahlah, aku hanya terharu kamu lulus.”
“Maksudmu aku mungkin nggak lulus, gitu? Kamu terlalu meremehkanku!”
“Iya, iya. Maaf. Nah, ini yang terakhir.” Ucapku sambil menyerahkan surat beramplop biruku padanya. Ia hanya memandangku bingung sambil meminta penjelasan. “Buka kalau sudah sampai rumah ya, aku pulang duluan.” Ucapku sambil berjalan menjauh. Kurasakan ia masih memandangku bingung.
Aku menghela nafas panjang sambil berjalan keluar gerbang sekolah. Aku tak akan memberitahu kalian isi suratnya. Biarlah hanya aku, dia dan Tuhan yang tahu. Selamat tinggal cinta pertama. Kuharap kamu bahagia dengan pilihanmu, dia cantik dan baik. Kamu yang mengenalkanku pada cinta dan aku menghargainya. Tak akan kulupakan dirimu. Sekarang mari kita berjalan di jalan kita masing-masing. Biarlah waktu yang menentukan apakah kita akan bertemu lagi. Tapi percayalah, bila suatu saat kita memang ditakdirkan untuk bertemu, saat itu aku pasti akan tetap menyukaimu. Walau semua ini perih, aku tak pernah menyesal telah bertemu denganmu.
I wish you will always be happy. Goodbye love.

Komentar

Postingan Populer